Libya Timur Borong Pesawat Tempur JF-17 Buatan Pakistan
Libya kembali menjadi sorotan geopolitik internasional setelah muncul informasi tentang kesepakatan pertahanan besar antara Pakistan dan Libyan National Army (LNA) yang berbasis di wilayah timur negara itu. Kesepakatan ini mencakup penjualan alutsista lintas matra dan berpotensi melibatkan jet tempur JF-17 buatan Pakistan–Tiongkok.
Dalam laporan yang dikutip dari Reuters, pejabat Pakistan menyebut LNA sebagai pembeli baru dalam paket pertahanan bernilai antara 4 hingga 4,6 miliar dolar AS. Jika terealisasi, transaksi ini akan menjadi salah satu ekspor persenjataan terbesar dalam sejarah Pakistan.
Kesepakatan tersebut difinalisasi setelah pertemuan di Benghazi antara Panglima Angkatan Darat Pakistan, Field Marshal Asim Munir, dan Saddam Khalifa Haftar, wakil panglima tertinggi LNA serta putra Jenderal Khalifa Haftar. Pertemuan ini menandai peningkatan signifikan hubungan militer kedua pihak.
Selain kemungkinan penjualan jet tempur JF-17, paket kerja sama juga disebut mencakup pesawat latih Super Mushak, perlengkapan darat, dan aset angkatan laut. Implementasi kesepakatan direncanakan berlangsung selama sekitar dua setengah tahun.
JF-17 sendiri merupakan jet tempur multirole berbiaya relatif rendah yang dikembangkan bersama oleh Pakistan dan Tiongkok. Pesawat ini dirancang sebagai alternatif bagi negara yang ingin meningkatkan kemampuan udara tanpa bergantung pada sistem Barat yang mahal dan sarat pembatasan politik.
Dengan masuknya Libya timur sebagai calon pengguna, JF-17 resmi mendapatkan pembeli baru di kawasan Afrika Utara. Sebelumnya, pesawat ini telah dioperasikan oleh Pakistan, Myanmar, dan Nigeria, serta menarik minat sejumlah negara berkembang.
Bagi Pakistan, kesepakatan ini memperkuat ambisi Islamabad untuk menjadi pemain utama dalam pasar ekspor pertahanan global. Penetrasi ke Libya membuka pintu pengaruh baru di Afrika Utara yang selama ini didominasi aktor Barat, Rusia, dan Turki.
Namun, dampak paling signifikan justru terasa di dalam negeri Libya sendiri. Negara ini masih terpecah antara dua pemerintahan paralel, yakni Pemerintah Persatuan Nasional (GNU) di Tripoli dan otoritas timur yang didukung LNA.
Selama beberapa tahun terakhir, keseimbangan kekuatan militer antara kedua kubu relatif terjaga oleh keterlibatan aktor asing dengan dukungan yang terbatas dan tidak langsung. Kehadiran potensi jet tempur modern di tangan LNA berpotensi menggeser keseimbangan tersebut.
Jika LNA benar-benar mengoperasikan JF-17, maka keunggulan udara akan menjadi faktor baru yang signifikan. Selama ini, kemampuan udara LNA bergantung pada armada tua era Soviet dan dukungan eksternal yang tidak konsisten.
Keunggulan udara itu dapat memperkuat posisi tawar LNA dalam setiap proses negosiasi politik, sekaligus meningkatkan tekanan terhadap pemerintah Tripoli yang diakui PBB. Situasi ini berisiko memperlebar jurang antara kedua pemerintahan paralel.
Di sisi lain, Pemerintah Persatuan Nasional kemungkinan akan merespons dengan mencari dukungan militer tambahan dari sekutunya, terutama Turki. Hal ini berpotensi memicu kembali dinamika perlombaan senjata di Libya.
Kesepakatan ini juga menempatkan isu embargo senjata PBB kembali di bawah sorotan. Libya telah berada di bawah embargo sejak 2011, dan setiap transfer senjata memerlukan persetujuan internasional.
Pihak Pakistan menyatakan bahwa kerja sama tersebut tidak melanggar ketentuan PBB, dengan alasan banyak negara lain tetap terlibat secara militer dengan faksi-faksi Libya. Namun, belum ada kejelasan apakah pengecualian resmi telah diajukan.
Bagi LNA, kerja sama dengan Pakistan dipresentasikan sebagai awal fase baru kemitraan strategis, tidak hanya dalam pembelian senjata tetapi juga pelatihan dan kemungkinan manufaktur militer.
Langkah ini memperlihatkan upaya LNA untuk mendiversifikasi sumber persenjataannya, mengurangi ketergantungan pada sponsor tradisional, dan meningkatkan legitimasi internasionalnya melalui kemitraan negara berdaulat.
Di tingkat regional, kehadiran Pakistan di Libya menambah kompleksitas persaingan pengaruh internasional. Afrika Utara kini menjadi ajang tarik-menarik kepentingan global yang semakin padat.
Bagi masyarakat Libya, perkembangan ini memunculkan kekhawatiran akan tertundanya stabilitas. Peningkatan kemampuan militer salah satu pihak dapat memperpanjang kebuntuan politik.
Alih-alih mempercepat penyatuan institusi negara, masuknya alutsista canggih justru berpotensi mengokohkan garis pemisah antara timur dan barat Libya.
Dengan demikian, JF-17 bukan sekadar pembeli baru bagi industri pertahanan Pakistan. Kehadirannya di Libya berpotensi menjadi simbol pergeseran keseimbangan kekuatan di negara yang masih terjebak dalam dualisme pemerintahan dan konflik berkepanjangan.




Tidak ada komentar
Posting Komentar