Jejak Nusantara di Amerika: Titik Sejarah yang tak Mudah Dihapus
Sebelum dunia mengenal Benua Amerika melalui penjelajahan Christopher Columbus, ternyata jejak-jejak Nusantara telah lebih dulu hadir di sana. Catatan pelayaran Columbus pada 1492 mencatat pertemuannya dengan masyarakat lokal yang menyebut pemimpinnya dengan gelar “Keucik” dan “Kuasanagari” — dua istilah yang jelas berasal dari adat Aceh dan Minangkabau. Temuan ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga mengguncang narasi sejarah arus utama yang selama ini didominasi oleh versi Eropa.
Miguel Pericas of Cadiz, penulis yang turut serta dalam ekspedisi Columbus, mencatat bahwa masyarakat yang mereka temui hidup dengan tata krama tinggi dan struktur sosial yang rapi. Gelar-gelar adat yang digunakan menunjukkan bahwa telah ada pengaruh budaya Nusantara di benua baru tersebut, jauh sebelum bangsa Barat mengklaim “penemuan” atas wilayah itu.
Dugaan kuat menyebutkan bahwa para pelaut Nusantara — khususnya dari Aceh dan Minangkabau — yang telah lama dikenal sebagai pelaut ulung, telah menjelajah hingga ke Benua Amerika. Kemungkinan ini tidak lepas dari jaringan perdagangan maritim yang telah terbentuk jauh sebelum kolonialisme Barat menguasai samudra.
Namun, hubungan Nusantara dan Amerika tidak berhenti pada jejak adat semata. Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa Kesultanan Banten, di bawah kepemimpinan Sultan Allioedin, turut berperan dalam sejarah awal kemerdekaan Amerika Serikat. Setelah berdirinya AS pada 4 Juli 1776, Sultan Allioedin disebut memberikan pinjaman berupa ribuan ton emas kepada pemerintahan muda Amerika.
Bantuan tersebut menjadi simbol solidaritas dunia Timur terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa yang baru lahir di Barat. Sayangnya, kisah ini kerap luput dari buku sejarah resmi, padahal Banten memiliki kontribusi penting dalam menopang fondasi ekonomi Amerika yang tengah berjuang keluar dari bayang-bayang penjajahan Inggris.
Di sisi lain, hubungan Nusantara dan Amerika juga pernah mengalami ketegangan. Pada abad ke-19, pecah konflik bersenjata antara Amerika Serikat dengan Kerajaan Kuala Batee (Kuala Batu) di pesisir barat Aceh. Perselisihan ini dipicu oleh ketegangan dalam perdagangan, terutama terkait perlakuan terhadap kapal-kapal dagang Amerika di perairan Aceh.
Dalam konflik itu, armada Amerika melakukan serangan ke wilayah Kuala Batee, menewaskan sejumlah penduduk dan meninggalkan luka sejarah. Perang ini menjadi bukti bahwa hubungan kedua wilayah tidak melulu damai, tetapi juga pernah diuji oleh konflik kepentingan ekonomi dan perdagangan.
Meski begitu, hubungan antara Aceh dan Amerika telah terjalin jauh sebelum konflik tersebut. Sejak abad ke-17, ketika Salem di Massachusetts masih menjadi kota pelabuhan kecil, relasi dagang dengan Aceh telah berjalan. Salem yang kala itu menjadi pusat perdagangan rempah-rempah, menjalin hubungan erat dengan Sumatra, khususnya Aceh, dalam jaringan niaga global.
Kisah ini terus bergulir hingga abad ke-21. Ketika tsunami dahsyat melanda Aceh pada 2004, masyarakat Salem dan kawasan pantai utara Amerika menggalang dana besar-besaran sebagai bentuk penghormatan atas “ikatan lama” dengan Sumatra. Koran Boston Globe mencatat upaya kemanusiaan itu sebagai simbol solidaritas historis antara dua wilayah lintas samudra.
Dalam pertemuan dengan Menteri Kebudayaan Indonesia, Fadli Zon, seorang akademisi menyampaikan pentingnya peran diplomasi budaya dalam menjaga hubungan historis tersebut. Ia mendorong agar keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah kota Salem, seperti pembentukan Task Force terkait hubungan dengan Aceh, tidak hanya mempertimbangkan suara segelintir orang, tetapi melibatkan Indonesia secara langsung.
Hal ini terkait pula dengan kontroversi logo kota Salem yang memuat sosok orang Aceh, simbol hubungan historis yang kini dipersoalkan oleh sebagian pihak. Namun bagi sebagian warga Salem, simbol itu bukan sekadar ornamen, melainkan pengingat akan sejarah panjang kerja sama lintas bangsa dan budaya.
Perspektif ini menjadi penting di tengah dinamika geopolitik modern, di mana sejarah kerap direduksi demi kepentingan politik jangka pendek. Padahal, kisah panjang antara Nusantara dan Amerika mencerminkan kekuatan hubungan antarbudaya yang melampaui waktu dan batas negara.
Hubungan dagang Aceh-Salem, bantuan Sultan Banten kepada Amerika, hingga jejak Minang dan Aceh dalam catatan Columbus adalah mozaik sejarah yang menunjukkan peran besar Nusantara dalam sejarah global.
Sejarah ini menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya objek kolonialisme, tetapi pelaku aktif dalam arus globalisasi awal. Dari diplomasi emas Sultan Banten, semangat dagang Aceh, hingga penjelajahan pelaut Minang, semua membentuk jembatan antara Timur dan Barat jauh sebelum abad ke-20.
Baca: Jejak Minang dan Aceh di Amerika Sebelum Columbus
Kini, tantangannya adalah menggali dan merawat narasi ini secara akademis dan diplomatik. Sejarah bukan sekadar masa lalu, tetapi bekal untuk membentuk identitas dan hubungan masa depan.
Dengan rekam jejak sejarah yang kaya ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menghidupkan kembali peran strategisnya di panggung dunia, bukan sebagai bangsa yang tertinggal sejarah, tetapi sebagai pewaris jejaring global yang telah dibangun sejak ratusan tahun silam.
Mungkin sudah saatnya kita mengangkat kembali kisah tentang Keucik, Kuasanagari, Sultan Allioedin, dan saudagar Aceh di pelabuhan Salem — karena di sanalah sesungguhnya benih-benih diplomasi dan hubungan antarbangsa telah ditanam jauh sebelum zaman modern dimulai.
Tidak ada komentar
Posting Komentar